✔ Bahan Didik Versus Proses Belajar

 goresan pena Bapak Hendra Gunawan Staf Pengajar pada Jurusan Matematika di Institut Teknologi  ✔ Materi Ajar Versus Proses BelajarMateri Ajar Versus Proses Belajar. Membaca file usang ihwal "Materi Ajar Versus Proses Belajar" goresan pena Bapak Hendra Gunawan Staf Pengajar pada Jurusan Matematika di Institut Teknologi Bandung. Pada goresan pena Bapak Hendra Gunawan tersebut, dia menyampaikan dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, dunia pendidikan dihadapkan pada kasus mendesak yang harus segera ditangani, yakni bagaimana merombak kurikulum dan memperbaiki proses belajar-mengajar supaya sanggup mengakomodasi perkembangan tersebut. Sementara bahan latih yang usang masih dirasakan perlu untuk diajarkan, sejumlah bahan gres kini mencari tempatnya.

Dalam artikel tersebut dikatakan ada beberapa alternatif yang sanggup dilakukan dalam upaya mengatasi kasus di atas. Yang pertama ialah memadatkan bahan ajar, yakni menyisipkan bahan gres di sela-sela bahan lama, tanpa menambah jam pelajaran. Alternatif pertama ini telah dilakukan pada kurikulum nasional kita.

Alternatif kedua ialah menggeser bahan latih ke bawah, yakni mengajarkan sejumlah bahan lebih awal, untuk menawarkan daerah bagi bahan baru. Ini pun telah dilakukan oleh sejumlah sekolah di negara kita. Membaca, menulis, dan berhitung, misalnya, kini ini rupanya sudah diperkenalkan semenjak di taman kanak-kanak (Kompas, 12 Juli 1997).

Menambah jumlah jam pelajaran di sekolah, sehingga bahan gres sanggup diajarkan tanpa menggangu kegiatan pelajaran bahan lama, merupakan alternatif ketiga. Sejumlah sekolah negeri unggulan dan sekolah swasta yang tergolong ‘top’ di negara kita menentukan alternatif ketiga ini dengan menawarkan banyak sekali mata pelajaran pemanis kepada muridnya, menyerupai bahasa Inggris dan pengenalan komputer (Kompas, 19 Juli 1997).

Dalam alternatif pertama, kedua, ataupun ketiga, bahan latih tampak lebih diutamakan, sementara proses belajar-mengajar cenderung terabaikan. Bila kita renungkan dengan bijak, ketiga alternatif ini bahwasanya tidak mengatasi kasus tadi, malah hanya menambah beban murid dan juga guru. Orangtua murid pun turut mencicipi beban anaknya yang semakin berat, banyak di antara mereka yang mengeluh ihwal hal ini.

Untuk mengatasi kasus di atas, kita seharusnya melirik alternatif lain yang mungkin sanggup dilakukan tanpa menambah beban murid dan guru. Pepatah usang menyampaikan bahwa murid cendekia bukan alasannya ialah diajar tetapi alasannya ialah belajar. Oleh alasannya ialah itu, kiprah utama seorang guru seharusnya bukan mengajar tetapi menciptakan muridnya belajar.

Menyadari hal ini, menggantikan pengajaran gaya usang yang lebih menekankan pada penyampaian bahan (transfer of knowledge) dengan pengajaran gaya gres yang lebih menekankan pada upaya menciptakan murid mencar ilmu (pembelajaran), merupakan alternatif keempat, yang jauh lebih baik daripada ketiga alternatif sebelumnya.

Dalam upaya membuat murid belajar, seorang guru harus memperhatikan gaya mencar ilmu (learning style) muridnya, yakni bagaimana muridnya (mau) mencar ilmu mempelajari sesuatu. Menurut Kolb (1984), murid mencar ilmu dalam 4 (empat) gaya. Gaya mencar ilmu pertama ialah mempertanyakan mengapa sesuatu harus dipelajari (why). Guru yang menghadapi murid dengan gaya mencar ilmu pertama ini haruslah seorang pendorong (motivator).

Gaya mencar ilmu kedua ialah mempertanyakan apa yang sedang atau akan dipelajari (what). Dalam menangani murid dengan gaya mencar ilmu kedua ini, seorang guru tentunya harus tahu banyak (expert).

Murid yang bahagia mempelajari bagaimana sesuatu bekerja (how) termasuk murid yang mempunyai gaya mencar ilmu ketiga. Murid demikian harus dibimbing oleh seorang guru yang sanggup berperan sebagai instruktur (coach).

Gaya mencar ilmu keempat ialah mempelajari apa yang terjadi apabila sesuatu diterapkan pada situasi konkrit tertentu (what if). Dalam hal ini seorang guru lebih baik menyingkir jauh-jauh dan menjadi pengamat saja (observer), membiarkan murid yang mempunyai gaya mencar ilmu keempat ini mencar ilmu sendiri.

Dengan demikian, untuk mengajar sekian murid dalam satu kelas, dengan banyak sekali gaya mencar ilmu di atas, diharapkan seorang guru yang pendorong, tahu banyak, pelatih, dan sekaligus pengamat yang baik. Guru menyerupai itu ialah seorang fasilitator bagi muridnya dalam belajar. Satu aspek saja tidak dipenuhi oleh si guru, sejumlah murid akan menjadi bosan dan kemudian tidak belajar.

Lalu bagaimana dengan bahan latih yang kian bertambah banyak itu? Dibandingkan dengan proses bagaimana murid belajar, bahan latih menjadi tidak terlalu penting. Setidaknya ada dua alasan untuk itu.

Yang pertama, tidak mungkin seorang guru sanggup mengajarkan seluruh bahan yang kian bertambah banyak dalam waktu yang terbatas. Matematika, misalnya, yang telah berusia ribuan tahun dan masih berkembang dengan pesat hingga kini ini, tidak mungkin diajarkan seluruhnya kepada seorang murid dalam waktu 23 tahun (dari taman kanak-kanak hingga kegiatan doktor).

Yang kedua, seorang pakar sekalipun tidak akan pernah tuntas menguasai bahan dalam bidangnya, senantiasa ada sesuatu yang perlu dipelajari (lagi) alasannya ialah lupa atau belum tahu. Jadi, yang lebih penting ialah proses bagaimana mempelajari suatu materi, bukannya bahan yang sedang dipelajari.

Seorang murid yang telah sanggup menyebarkan gaya mencar ilmu yang dimilikinya (paling elok jikalau ia mempunyai keempat-empatnya) akan mencar ilmu sendiri dan sanggup memutuskan sendiri bahan apa yang perlu dipelajarinya. Bila ini terjadi, kiprah seorang guru ---yakni menciptakan muridnya belajar--- sanggup dikatakan selesai.

Hendra Gunawan, Lahir di Bandung pada tahun 1964, ialah seorang matematikawan. Beliau menjadi dosen di Institut Teknologi Bandung semenjak tahun 1988 dan menerima gelar doktor dalam bidang Matematika dari University of New South Wales Sydney, pada tahun 1992. Selain sering menulis di media massa, dia juga mengasuh beberapa blog untuk memopulerkan matematika dan sains, antara lain indonesia2045.com | anakbertanya.com | bersains.wordpress.com | bermatematika.net/

Update: Beberapa waktu kemudian Bapak Hendra Gunawan diwawancarai secara eksklusif oleh Jawa Pos TV dalam kegiatan "Bermatematika Bersama Guru Besar Matematika ITB". Mari kita simak hasil wawancaranya secara langsung;

Suka matematika tapi tidak kenal dengan Bapak Hendra Gunawan kurang seru, yuk mengenal salah satu matematikawan Indonesia melalui video berikut;
 goresan pena Bapak Hendra Gunawan Staf Pengajar pada Jurusan Matematika di Institut Teknologi  ✔ Materi Ajar Versus Proses Belajar

Belum ada Komentar untuk "✔ Bahan Didik Versus Proses Belajar"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel