✔ Iwan Pranoto: Belajar

 Ada berguru demi ujian dan untuk mengejar skor ✔ Iwan Pranoto: BelajarAda sekolah, tetapi belum ada belajar. Ada pengajaran, tetapi belum ada belajar. Ada berguru demi ujian dan untuk mengejar skor, tetapi belum ada berguru sebab rasa ingin tahu. Ada berguru sebab dipaksa, tetapi belum ada berguru berlandaskan hasrat dari dalam diri sendiri.

Ada pemaksaan belajar, tetapi belum ada sukacita belajar. Ada kewajiban belajar, tetapi belum ada penghargaan hak belajar. Ada pemaksaan berguru dengan ancaman, tetapi belum ada kasmaran belajar.

Almarhum Profesor Achmad Arifin kerap mengingatkan para muridnya, "Kita pintar bukan sebab diajar, akan tetapi sebab belajar."

Pernyataan itu ialah sebuah penyadaran bahwa tidak ada gunanya seseorang mengikuti pengajaran jikalau yang bersangkutan tak belajar. Pandai tak pernah diperoleh melalui jalan pintas, tetapi harus melalui proses berguru berkelanjutan, yang didorong motivasi dari dalam diri. Tentunya kita semua mengangankan pemahaman wacana berguru ini terwujud melalui rangkaian kebijakan pendidikan nasional di pemerintahan gres demi anak- anak Sang Republik.

Sikap

Kata berguru bukan sebuah kata sepele. Kata ini merupakan sebuah kata universal yang mengandung unsur kearifan luhur.

Kata berguru tentu umumnya dikenakan pada pelajar, tetapi sejatinya mutlak pula bagi pendidik. Guru tentunya perlu berguru sebelum ia membelajarkan keilmuannya. Guru mempunyai tugas sebagai insan yang meneladankan perilaku berguru sepanjang hayat.

Lebih dari itu, tolong-menolong kata berguru alami bagi semua manusia, entah bau tanah ataupun muda. Beberapa futurolog atau pakar wacana masa depan sudah menyatakan bahwa berguru ialah pekerjaan utama insan di masa kini dan mendatang. Tidakkah kita sudah rasakan kini di dunia kerja?

Selain berguru sebagai acara utama dalam keilmuan, berguru juga menyiratkan perilaku yang manusiawi. Kata berguru senantiasa mengimbas suatu suasana kebersahajaan bagi subyeknya.

Seseorang yang berguru artinya mengakui bahwa dirinya belum tahu, mengakui keterbatasan pemahamannya, dan mengakui bahwa dirinya masih belum mencapai kebenaran mutlak. Kebersahajaan ini tolong-menolong juga penting dalam budaya ilmiah.

Jika persekolahan sanggup mengembalikan berguru sebagai jiwa kegiatannya, budaya kebersahajaan sanggup diperlukan tumbuh di kelas, sekolah, dan kesudahannya menyebar ke masyarakat luas.

Sekolah bukan saja sebagai daerah penyebaran pengetahuan ilmiah, tetapi—lebih dari itu—sekolah haruslah menjadi sumber ide pengembangan budaya masyarakat sekitarnya. Iklim kebersahajaan yang berkembang di masyarakat akan meningkatkan harmoni sosial sejati menurut intelektualitas, bukan berlandaskan materi.

Budaya kebersahajaan ini secara alami menumbuhkan perilaku mau mendengar pendapat orang lain sebab ingin berguru dari orang lain. Belajar sanggup dari siapa saja dan kapan saja.

Sebaliknya, perasaan takabur, perasaan tahu segalanya, dan perasaan paling benar akan mengimbas perilaku gampang menyesatkan orang lain, menganggap orang lain salah jikalau tak sama dengan pendapatnya. Perasaan takabur ini mempunyai saudara kembar berjulukan kenaifan, yakni melihat dunia hanya hitam-putih. Jika tidak hitam, niscaya putih. Ini sangat berbahaya bagi kehidupan berbangsa dan perawatan Sang Republik.

Teori otak

Sekarang, bagaimana membangkitkan motivasi intrinsik atau hasrat diri untuk belajar? Menurut teori otak, insan mempunyai tiga belahan otak yang masing-masing menuntut pemuasan yang berbeda-beda. Otak depan [forebrain] menuntut acara yang baru. Otak tengah [midbrain] menuntut acara yang menantang. Otak belakang [hindbrain] menuntut acara yang aman. Artinya, kita, manusia, akan berhasrat berguru jikalau kegiatannya gres [tidak membosankan], menantang [sedikit di atas kemampuan kita], dan kondusif [tidak mengancam atau mempermalukan kita jikalau gagal].

Oleh sebab itu, pendidik di masa kini perlu mereka-cipta kegiatannya supaya selalu baru, menantang, dan aman. Kegiatan yang lama dan penuh pengulangan kerap membunuh motivasi sebab akan melahirkan kebosanan. Apalagi kerap kegiatannya terlalu sulit dibandingkan kemampuannya sehingga menciptakan pelajar frustrasi atau sebaliknya terlalu gampang sehingga pelajar bosan. Ini yang dikenal dengan sebutan Drill and Kill. Teori berguru modern ingin mengatasi ini dengan pemahaman gres di ilmu saraf wacana bagaimana insan belajar. Harapannya, dari Drill and Kill, persekolahan dan pendidikan kita akan membangun suasana Thrill and Will, atau menantang dan berhasrat.

Teknologi melalui langkah gamification telah berperan menggeser kekeliruan pandangan berguru sebagai beban jadi sebuah permainan. Pandangan kuno bahwa berguru ialah siksaan, makanya harus dipaksa, digantikan dengan berguru sebagai permainan mengasyikkan, menantang, tanpa perlu takut dihakimi dan disalahkan.

Kita selesaikan permasalahan primitif bahwa berguru harus dipaksa dengan teknologi modern. Hanya dengan benak lebih cerdas daripada benak pembuat duduk kasus bahwa berguru ialah beban itu kita sanggup benahi pendidikan dan kebudayaan kita.

Dengan budaya berguru yang merasuki warga, nasion ini akan merdeka dan berdikari. Jika belum dewasa kita secara naluri bahagia mengerjakan teka-teki, puzzle, sudoku, hingga dirinya terhanyut menyatu dalam permainannya, bukan hal tidak mungkin menciptakan anak juga akan terhanyut dengan acara berguru matematika atau pelajaran lain.

Kita semua tentunya ingin belum dewasa kita mengatakan, "Aku ingin mengerjakan PR. Aku ingin belajar." Bermain dalam proses berguru ialah urusan serius, bukan main-main. Dengan jalan itu, kita berharap belum dewasa kita menjadi kasmaran belajar, yang dampaknya tentu akan menciptakan mereka pandai. [Iwan Pranoto - Guru Besar Matematika ITB]

Video pilihan khusus untuk Anda 💗 Pianist cilik ini memperlihatkan salah satu pola dari hasil belajar;
 Ada berguru demi ujian dan untuk mengejar skor ✔ Iwan Pranoto: Belajar

Belum ada Komentar untuk "✔ Iwan Pranoto: Belajar"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel