✔ Apakah Indonesia Sebuah Bangsa Yang Bodoh?
Aku duduk di sebuah warung di Sulawesi Tengah, menunggu untuk membayar kopi. "Dua kopi dan dua kue", dan pemilik warung menarik kalkulator, kemudian mulai meninju angka-angka di atasnya : 2000 + 2000 + 1000 + 1000 = 6000. Aku memberinya uang 10.000 rupiah. Ia kemudian memukul tombol 'Clear', dan meninju angka-angka lagi : 10.000 - 6000 = 4000. Ia memperlihatkan uang kembaliannya kepadaku, sementara pelanggan lain menunggu kopi mereka.
Serius? Apakah ia benar-benar tidak bisa menghitung jumlah sesederhana itu di kepalanya ?
Tanggal 3 Desember, hasil putaran terakhir tes matematika, sains dan keterampilan membaca dengan standar internasional diumumkan. Tes ini disebut PISA, Program for International Student, ditujukan untuk siswa berumur 15 tahun. Dari 65 negara yang berpartisipasi dalam tes PISA ini, Indonesia menduduki peringkat ke-60 dalam kemampuan membaca, dan ke-64 dalam matematika dan sains. Keterampilan siswa Indonesia yang begitu rendah itu amat mengejutkan. Sebanyak 42 persen dari belum dewasa berumur 15 tahun itu tidak mempunyai keterampilan dasar dalam matematika, dan tiga dari empat siswa -tepatnya 76 persen- hanya mencapai level satu atau kurang (dari total enam level). Bandingkan dengan Vietnam yang hanya mempunyai 14,2 persen anak yang berada di bawah level satu, sementara di Singapura 8,3 persen, dan di Shanghai 3,8 persen.
Padahal Indonesia menghabiskan dana untuk pendidikan relatif lebih banyak dibandingkan banyak negara lain. Secara konstitusional ada seperlima dari anggaran publik yang dikhususkan untuk pendidikan, baik pada tingkat nasional maupun lokal. Ukuran kelas di Indonesia juga merupakan salah satu yang terkecil dibandingkan sesama negara yang berpendapatan menengah. Di sekolah dasar ada seorang guru untuk setiap 16 siswa (lebih baik daripada Inggris), di sekolah menengah rasio guru dan murid yakni satu dibanding 12 (lebih baik daripada AS). Anehnya, mengapa belum dewasa Indonesia tidak berguru lebih baik ?
Sekitar jam 6.30 pagi, wanita itu masih memasak sarapan ketika putra bungsunya muncul dengan seragam sekolah. Dia menasihati anaknya untuk tidak terlambat. (Di seluruh Indonesia, sekolah dimulai jam 7 pagi). Lalu seorang tetangga tiba untuk mengeluh, bahwa tawaran mereka untuk pendanaan taman kanak-kanak belum diterima. Bu Zunaidi menaruh beberapa pisang ke dalam minyak panas, dan membuat secangkir kopi. Sekarang sudah jam 7.10, tapi ibu guru itu masih belum mandi dan bersiap mengajar.
Sekitar jam 7.15, saya bertanya jam berapa sekolah dimulai di sekitar sini. Dia tampak agak malu-malu, kemudian menunjuk ke arahku, ke tetangga, dan ke pisang goreng. "Tidak apa-apa. Semua orang tahu saya ada tamu."
Kalimat itu mengagetkanku : Makara kalau beliau tidak hadir, itu merupakan kesalahanku ?
Aku bertanya apakah saya bisa mengikutinya ke sekolah, barangkali saya bisa membantu dalam pelajaran bahasa Inggris. Dia tampak sangat lega, kemudian mandi dalam waktu singkat, dan jam 7.30 kami sudah berada di sekolah.
Sungguh sebuah kekacauan ! Seratus dua puluh anak berlarian, berteriak dalam pengabaian yang menggembirakan mereka ! Setengah jam sesudah kami memulai, tidak ada guru lain yang hadir. Aku mengajarkan bahasa Inggris di Kelas Empat dan Kelas Enam, dan Ibu Zunaidi mengajar di kelasnya sendiri, Kelas Satu. Murid-murid Kelas Dua, Tiga dan Lima diperintahkan untuk masuk ke kelas mereka sambil menekuni buku teks hingga guru datang.
"Jangan berisik !", bu Zunaidi memperingatkan.
Aku menghadapi sekitar 30 belum dewasa di bawah usia 12, berdesakan dalam setengah belahan dari ruangan. (Tidak ada cukup ruangan untuk enam kelas, sehingga mereka memakai kayu lapis sebagai penyekat).
"Good morning, everyone !", kataku menyapa.
"Good morning, miss !", sebuah respon yang sehat.
"My name is Eliz, what is your name ?", saya mengarahkan pertanyaanku kepada anak pria paling besar yang duduk akrab denganku. Dia telah berguru bahasa Inggris selama tiga tahun. Tapi beliau tertegun telah ditanyai sebagai individu, bukan sebagai belahan dari paduan bunyi yang telah diatur. Dia tak bisa berkata-kata. Anak-anak lain berusaha menarik perhatianku, dan saya bahagia ketika seorang gadis mengangkat tangannya.
"What is his name ?", tanyaku, sambil menunjuk anak pria yang termangu di barisan depan itu.
"My name is Fifi !", katanya dengan nada penuh kemenangan.
Tidak ada satupun guru lain yang muncul sepanjang hari itu.
Bank Dunia telah menuliskan beberapa laporan menarik ihwal sekolah di Indonesia. Kesimpulannya terang : Terlalu banyak guru di Indonesia, membuat negara ini kesulitan membayar honor mereka. Bank Dunia juga menyampaikan bahwa Indonesia perlu mendistribusikan ulang guru-gurunya. Tapi sayang, kesimpulan ini didasarkan pada jumlah guru pada tagihan gaji, bukan jumlah guru yang hadir di kelas. Keduanya sangat jauh berbeda.
Banyak pemerintah kawasan yang membayar insentif untuk membujuk guru semoga mau bekerja di daerah-daerah terpencil di Indonesia. Seringkali besarnya insentif itu dua kali lipat honor guru, tapi tampaknya itu tidak cukup. Bahkan dengan insentif, guru di kawasan terpencil itu cenderung membolos bekerja daripada guru di belahan lain. Dan kepala sekolah, orang yang bayarannya paling tinggi, yakni orang-orang paling sedikit terlihat di sekolahnya.
Dalam sebuah penelitian di dataran tinggi Papua Indonesia, tujuh dari sepuluh kepala sekolah tidak bekerja ketika peneliti berkunjung, sementara setengah dari guru juga tidak hadir. Bahkan sekitar seperempat dari semua guru belum menginjakkan kaki di sekolah selama berbulan-bulan. Di kawasan yang diklasifikasikan sebagai 'terpencil' di pulau-pulau lain -termasuk di kawasan yang sulit diakses di Jawa yang padat-, ada sekitar satu dari lima guru yang tidak hadir pada hari tertentu. Salah satu sebabnya yakni lantaran kebanyakan orang yang mempunyai pekerjaan sebagai guru itu bahu-membahu tidak mau mengajar.
Pada suatu masa, mengajar yakni profesi terhormat di Indonesia. Lalu datanglah krisis ekonomi di simpulan 1950-an. Inflasi tinggi membuat orang-orang menginginkan pekerjaan sebagai pegawai pemerintah, apapun itu, lantaran ada jaminan tunjangan. Cara termudah untuk menjadi PNS yakni menjadi guru. Profesi itu kemudian diserbu, bahkan oleh orang-orang yang tidak tertarik dengan pendidikan. Soeharto dan Orde Barunya kemudian menempatkan guru, ke satu untuk dijadikan distributor negara, sementara kiprahnya sebagai pendidik yakni urusan nomor dua. Inilah ketika dimulainya pola pikir birokratis yang sangat mengakar di dunia pendidikan Indonesia.
Meskipun kini ada hukum dan standar gres ihwal pembinaan guru, pemerintah kawasan tetap saja menyewa guru honorer sebanyak apapun sesuka mereka. Orang-orang bergaji rendah itu, sebanyak satu juta di seluruh Indonesia (sepertiganya untuk tenaga kependidikan), dikecualikan dari standar-standar gres tersebut. Mereka mau mendapatkan pekerjaan itu, menunggu ketika promosi masal, hingga mendapatkan status PNS penuh.
Bagi bupati atau walikota, pos guru diciptakan sebagai cara berterima kasih kepada orang-orang yang telah membantu dalam pemilihan, atau kepada siapapun yang dianggap berjasa -dari jasa terkecil hingga sedang. Standar menjadi staf sekolah juga diatur semoga bisa mempekerjakan lebih banyak pegawai negeri. Karena semakin banyak pegawai negeri, pemerintah kawasan akan menarik semakin banyak uang dari pemerintah pusat.
Singkatnya, sekolah diisi dengan orang-orang yang tujuannya yakni menjadi birokrat, bukannya menjadi pendidik. Dan mereka berperilaku menyerupai birokrat lainnya di Indonesia : Meskipun mereka tahu bahwa mereka harusnya mengajar minimal 26 jam seminggu, mereka juga tahu bahwa semua aturan-aturan itu "bisa diatur". Seperti banyak birokrat lainnya, mereka melihat jam kerja itu sebagai pesta bergerak, dan mengambil waktu istirahat sesuka mereka. Dan menyerupai birokrat lainnya, mereka membenarkan semua sikap ini dengan menyalahkan honor mereka yang rendah : "Kami dibayar dengan honor kecil, sehingga kami terpaksa mencari pekerjaan sampingan. Apa lagi yang Anda harapkan ?"
Mereka yang tiba ke sekolah seringkali tidak punya motivasi. Aku pernah melihat seorang guru duduk merokok, mengobrol dan minum-minum di kantor kepala sekolah selama waktu pelajaran. Ketika saya bertanya ihwal komitmen mengajar mereka, mereka bilang telah memperlihatkan kiprah pada para murid. Di ruang kelas, belum dewasa berumur tujuh dan delapan tahun itu disuruh menyalin pertanyaan pilihan ganda dari buku-buku teks ke catatan mereka. Semuanya disalin, termasuk tanggapan yang salah.
Pemerintah mengatasi pengajaran berkualitas rendah ini dengan cara meminta semua birokrat di sekolah untuk mengikuti tes sertifikasi mengajar. Bagi sebagian besar peserta, itu lebih terlihat sebagai kursus singkat 90 jam ketimbang sebagai ujian. Siapapun yang menjalaninya, segera ia akan menerima honor dua kali lipat. Hasilnya : Lebih dari 90 persen guru diklasifikasikan sebagai 'sangat tidak kompeten' pada keterampilan mengajar. Lebih dari setengah guru sekolah dasar, dan sekitar sepertiga dari guru Sekolah Menengah Pertama … semua dinilai sangat tidak kompeten dalam materi pelajaran mereka. Tapi semua orang yang pernah mengikuti kursus dan telah 'lulus' ujian memperoleh kenaikan gaji, dan akan kembali menjadi guru yang mangkir empat dari lima hari kerja.
Sistem promosi di sekolah dan universitas negeri, sebagaimana yang ada di birokrasi, semua didasarkan pada masa kerja. Belum ada sistem yang menghargai orang-orang yang bekerja lebih keras, yang mengajar lebih baik, yang menginspirasi belum dewasa untuk berpikir, untuk mengeksplorasi, dan untuk mengembangkan potensi mereka.
Banyak surat kabar melaporkan bahwa ujian nasional itu dipenuhi oleh tipu daya. Setiap tahun, koran-koran itu mengisahkan ihwal bocornya soal-soal ujian, ihwal broker yang menjual tanggapan ujian, ihwal guru yang membagikan lembar ujian beserta jawabannya, atau bahkan menuliskan jawabannya di papan tulis. Google-lah 'Cara curang dalam ujian nasional' dalam bahasa Indonesia, maka engkau akan mendapatkan ratusan hits ihwal 'tips dan trik'. Itu sebabnya headline khas Indonesia dalam koran berbunyi menyerupai ini : "Ketika kecurangan kolektif menjadi tradisi dalam ujian nasional", atau "Kecurangan sebagai Budaya Akademik".
Tahun kemudian saya membaca sebuah artikel di koran ihwal sebuah inisiatif gres untuk menghentikan kecurangan di sekolah. Di bawah banner "Berani jujur, Hebat !", yang diterjemahkan secara bergairah sebagai "Dare to be honest, that's cool !", sekelompok organisasi berkeliling di sekolah-sekolah Indonesia, memperkenalkan gagasan bahwa kecurangan itu bukannya tak bisa dihindari. Penyelenggara kampanye, termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi, Indonesia Corruption Watch dan Transparency International, menyampaikan bahwa siswa yang tidak melaksanakan kecurangan itu semakin langka. Mereka mengakui bahwa sebagian besar siswa tidak akan bisa untuk berhenti melaksanakan curang begitu saja. Namun mereka tetap mendorong semoga siswa membuat rencana berjangka untuk menjauhkan diri dari ketidakjujuran.
Seorang kepala sekolah Sekolah Menengan Atas di dataran tinggi Sumatera Barat menyampaikan kepadaku, bahwa situasi kecurangan semakin memburuk semenjak desentralisasi. Kami duduk mengobrol di kantornya, di bawah potret seorang bupati dan wakilnya yang mengenakan seragam putih dan topi pelaut, dan membuat semua pejabat di Indonesia terlihat menyerupai pemimpin marching grup musik Sekolah Menengan Atas yang kedaluwarsa.
Aku bertanya apakah desentralisasi telah menghipnotis pekerjaannya ?
"Oooooooh yeeeeess !" Selalu ada plus dan minus dalam sesuatu menyerupai desentralisasi, katanya. Ada jeda panjang.
"Plusses dan minuses," beliau mengulang kata-katanya. Lalu jeda lagi.
"Sebenarnya, dari sudut pandang pendidikan anak-anak, tidak ada plus-nya," katanya, akhirnya. Dia kemudian duduk kembali, dan badannya mengerut.
Desentralisasi sangat menekankan pada "mengajar demi (lulus) ujian". Karena bupati ingin memenuhi janji-janji ihwal pendidikan di kabupaten mereka, dan lantaran kepala sekolah diangkat pribadi oleh bupati.
"Jadi kepala sekolah akan melaksanakan apapun yang diinginkan oleh bupati. Benar-benar apa pun !"
Dia kemudian bercerita ihwal kepala sekolah yang diberhentikan pada dekade sebelumnya, ketika inspektorat memergoki rekening sekolah yang bocor menyerupai saringan.
"Kemudian kami melaksanakan pemilu, dan beliau menjadi bintang dari Timses". Kepala sekolah menyebut akronim dari 'Tim Sukses' itu sambil membuat tanda kutip dengan jari-jarinya, dengan raut wajah yang setengah geli dan setengah jijik.
"Dan kini beliau menjadi kepala Sekolah Menengan Atas (X). Lalu ada lagi kepala sekolah di Sekolah Menengan Atas lain [Y]; beliau dipecat lantaran berjudi dengan memakai uang sekolah. Tetapi ia menjilat bupati, dan beliau kembali jadi kepala sekolah."
Dia kemudian menghela napas, dan menyandarkan badannya.
"Sungguh referensi yang elok buat anak-anak", keluhnya.
Tapi soal kurikulum, fleksibilitasnya kurang. Otoritas pendidikan lokal diijinkan menentukan dua mata pelajaran sebagai komplemen dari kurikulum inti. Kadang-kadang mereka menentukan dengan bijaksana, kadang kala tidak. Aku menemukan kepala sekolah sebuah pesantren besar yang sedang putus asa, pesantren yang tidak jauh dari lokasi wisata yang sedang tumbuh di Senggigi, Lombok Barat. Departemen pendidikan lokal telah memerintahkan beliau untuk mengubah pilihannya, bahasa Inggris, menjadi bahasa lokal, Sasak.
"Bagi belum dewasa di sekitar sini, pekerjaan cita-cita yang memperlihatkan harapan terbaik yakni perhotelan. Tapi saya tidak diizinkan untuk mengajar mereka bahasa Inggris", katanya sedih.
Orang-orang sinis mungkin berkata bahwa kepentingan pemerintah memang memelihara semoga orang-orang tetap bodoh, lantaran itu membuat mereka lebih praktis diatur. Hal itu tentu saja cocok untuk penjajah Belanda di masa lalu. Satu kurun penuh sesudah perusahaan perdagangan VOC diambil alih oleh pemerintah Belanda, hanya ada 25 'pribumi' di sekolah setingkat SMP. Namun pada simpulan tahun 1930-an, jumlahnya mencapai 6.500 orang. Banyak yang percaya bahwa kebijakan "memelihara" semoga orang tetap tak terdidik itu sengaja dibentuk di era Soeharto. Guru birokrat yang memaksa belum dewasa menelan mitos anti-komunis waktu itu tentunya juga akan dituduh sebagai orang yang menjauhkan siswa dari pemikiran kritis. Tapi saya tidak berpikir bahwa kebanyakan orang di pemerintahan kini mempunyai jadwal belakang layar untuk membiarkan rakyatnya tetap kolot .
Sebagai bangsa, Indonesia mempunyai kepentingan untuk memperoleh otak cerdas yang bekerja lebih baik, apalagi desentralisasi telah membuatkan pengambilan keputusan di banyak titik. Dalam sistem yang sangat terpusat, engkau cukup mempunyai sekelompok kecil orang-orang super-cerdas, sementara keputusan yang baik dari atas itu akan dilaksanakan di tingkat bawah. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi di tahun-tahun Suharto, misalnya, direkayasa oleh segelintir ekonom lulusan Amerika, dan dikenal sebagai Mafia Berkley. Tapi sekarang, lebih dari 500 pemerintah mini yang terpisah-pisah membuat keputusan besar ihwal pendidikan, kesehatan, investasi dan masih banyak lagi, terlepas dari siapa pun yang duduk di Jakarta. Indonesia membutuhkan ribuan orang dengan kemampuan memecahkan problem yang luar biasa, dan kebutuhan itu ada di setiap sudut di negeri ini.
Jelas mereka yang membuat keputusan kini ini merupakan produk dari sistem (pendidikan) yang begitu mendesak untuk diubah. Abad-abad yang dijalani dengan investasi yang begitu rendah di bidang pendidikan, dekade-dekade yang berlalu dengan menempatkan sekolah sebagai perpanjangan birokrasi, tahun-tahun hafalan yang mekanistik bagi setiap anak - pendek kata hampir semua orang Indonesia -termasuk dosen, guru, orang tua- merupakan produk dari sistem ini. Ini yakni sistem yang menghambat rasa ingin tahu, merusak pemikiran kritis, dan membangun harapan yang rendah.
Seperti yang kusebutkan, salah satu pendekatan pemerintah untuk meningkatkan keterampilan guru (juga pegawai negeri sipil, polisi, dan militer) yakni dengan meminta mereka untuk meningkatkan 'kualifikasi' diri. Selain 90 jam pelatihan, mulai tahun 2015, semua guru diharuskan menjalani pendidikan tinggi empat tahun. Adanya Universitas Terbuka Indonesia yakni hal baik. Namun dari setengah juta mahasiswa yang sedang menjalani pendidikan on-line tersebut, lebih dari tiga perempatnya yakni guru. Sayangnya, banyak di antara mereka tinggal di tempat-tempat yang tidak mempunyai kanal internet.
Seharusnya itu mengkhawatirkan. Tetapi memang tidak ada lagi keyakinan bahwa 'kualifikasi' yang dibuktikan melalui selembar ijazah itu sungguh-sungguh mencerminkan kapasitas seseorang. Seorang insinyur dari Jawa dengan gelar PhD berkata kepadaku : "Bagi kebanyakan orang Indonesia, pendidikan yakni ihwal mendapatkan ijazah, bukan ihwal berguru sesuatu. Makara sungguh, mengapa kita harus memikirkan kualitas ?"
Banyak orang melangkah lebih jauh : Mereka tidak memikirkan pendidikan sama sekali. Mereka hanya mencari sebuah kafe internet, dan memesan ijazah mereka. Sebuah perusahaan yang menarik biaya empat juta rupiah untuk ijazah SMA, dan dua kali lipat untuk gelar sarjana menyatakan bahwa jasanya : AMAN , LEGAL , TERDAFTAR DI UNIVERSITAS / SEKOLAH , DAPAT DIGUNAKAN UNTUK MELAMAR PEKERJAAN (LAYANAN MASYARAKAT, TNI, KEPOLISIAN, PERUSAHAAN NEGARA , PERUSAHAAN SWASTA). Pada website mereka, pemasok ijazah instan ini mengingatkan pelanggan bahwa: "Semua orang mempunyai hak untuk bekerja dan mendapatkan pendidikan yang layak. Karena itulah kami ada di sini, bagi Anda yang membutuhkan sertifikat."
Komisi Pemilihan Umum Nasional melaporkan bahwa keluhan yang paling umum yang mereka terima ihwal calon bupati dan walikota yakni bahwa mereka tidak memenuhi persyaratan pendidikan minimal. Ijazah mereka palsu.
Orang-orang yang membeli ijazah setidaknya mendapatkan apa yang mereka bayar. Tetapi banyak keluarga Indonesia yang melaksanakan pengorbanan besar semoga belum dewasa mereka lulus, dan mereka mendapatkan jauh lebih sedikit daripada seharusnya. Banyak yang membawa anak mereka pada les privat, seringkali dengan guru yang sama di sekolah. Orang renta tampaknya berpikir bahwa belum dewasa mereka akan mendapatkan kualitas yang lebih baik di sekolah jikalau mereka membayar ekstra untuk itu, tapi tidak ada bukti yang mendukung dugaan itu. Sebuah perbandingan internasional menemukan bahwa belajar khusus memang meningkatkan performa belum dewasa di setiap negara yang diteliti, kecuali Indonesia, yang memperlihatkan tidak ada bedanya. Ada sirkulasi di sini : Bahwa produk dari sistem yang jelek (maksudnya orangtua dan guru) tidak selalu mempunyai kapasitas untuk merumuskan taktik yang lebih baik untuk meningkatkan kualitas generasi berikutnya !
Tapi bagaimana dengan orang renta kelas menengah, orang-orang yang pergi ke sekolah-sekolah swasta mahal yang dikelola oleh pendidik -bukannya birokrat, orang-orang yang pergi ke universitas negeri yang lebih baik, bahkan orang-orang yang berguru di luar negeri ? Mengapa mereka tidak mencerca pendidikan Indonesia yang begitu mengerikan, mengapa mereka tidak mengangkat senjata demi mengembalikan pelajaran sains ke sekolah ?
Agar adil, bahu-membahu ada cukup protes pada tahun 2012, membuat kementerian pendidikan tidak jadi memberlakukan kurikulum tanpa sains pada lebih dari 100.000 sekolah sekaligus, melainkan meluncurkannya secara bertahap, dimulai dengan sekitar 6000 sekolah. Setelah kompromi kecil itu, protes pun berhenti dengan tenang.
Kebanyakan orang Indonesia yang menyadari betapa buruknya sistem sekolah nasional itu hanya tetapkan untuk tidak melibatkan diri dengan sistem yang payah tersebut. Sebagaimana orang makmur dan terdidik di seluruh dunia, mereka menyekolahkan anak mereka ke sekolah swasta, meski pilihan tersebut tidak menjamin pendidikan yang lebih baik. Memang hasil PISA yang gres dirilis itu memperlihatkan bahwa siswa di sekolah-sekolah negeri di Indonesia mencetak angka yang lebih baik dibandingkan dengan sekolah swasta. (Penelitian yang lebih rinci memperlihatkan bahwa sekolah swasta Nasrani merupakan pengecualian, lantaran secara konsisten mencapai hasil yang terbaik).
Orang renta miskin sering bekerja sangat keras semoga belum dewasa mereka menuntaskan sekolah. Tapi ke mana perginya semua investasi mereka ? Enam juta warga Indonesia yang telah lulus dari Sekolah Menengan Atas ketika ini tidak mempunyai pekerjaan. Pemerintah menganggap lulusan Sekolah Menengan Atas dan sekolah kejuruan itu 'terampil' , tapi para pemberi kerja menganggapnya lain. Delapan dari sepuluh pengusaha menyampaikan bahwa mereka masih kesulitan mengisi posisi manajerial. Hampir setengah dari pekerja 'terampil' yang ditempatkan -bahkan pada posisi yang kurang menuntut- dianggap tidak mempunyai pemikiran kritis, kemampuan komputasi atau bahasa Inggris yang mereka butuhkan untuk melaksanakan pekerjaan mereka dengan baik. Kebanyakan perusahaan besar terpaksa melatih ulang hampir semua orang yang memasuki pintu mereka.
Beberapa tahun yang lalu, ketika insinyur lulusan Jerman dan eks presiden interim BJ Habibie masih besar lengan berkuasa dalam pemerintahan, terjadi perdebatan nasional ihwal perlunya peningkatan pembinaan teknis dan kejuruan di Indonesia. Habibie cenderung memfokuskan kembali sistem pendidikan, tapi ia diteriaki oleh akademisi renta yang keberatan, dan menuduh bahwa gagasannya akan mengubah bangsa Indonesia menjadi bangsa buruh. Akibatnya, terjadi perluasan besar dalam jadwal pendidikan, membuat lebih banyak lulusan bertopi dan bertoga tradisional, sementara para pemberi kerja dibiarkan tanpa tukang las atau pekerja terampil lainnya.
Akses ke pendidikan tinggi telah berkembang secara besar-besaran di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, jumlah orang-orang muda yang mengikuti pendidikan tinggi tumbuh sebesar 60 persen di antara tahun 1999 dan 2010, lebih dari 4,3 juta. Tapi sekali lagi, kualitas yakni sesuatu yang mengkhawatirkan. Dari sekitar 3500 universitas dan perguruan tinggi yang terdaftar di Departemen Pendidikan, (ini tidak termasuk sekolah-sekolah Islam yang dikelola oleh Departemen Agama), kurang dari 100 dikelola oleh negara, sementara pengawasan terhadap institusi swasta tidak ada. Tak satu pun dari lima universitas terbaik negeri ini masuk peringkat 400 universitas top dunia pada tahun 2012 versi Times Higher Education Supplement, dan tidak satupun yang berhasil mencapai 100 universitas terbaik di Asia.
Hal ini -salah satunya- lantaran privatisasi parsial perguruan tinggi negeri yang telah mengakibatkan mereka melelang tempat mereka kepada penawar tertinggi. Siswa-siswa dengan nilai sekedarnya bisa mendapatkan tempat untuk berguru kedokteran di sebuah universitas top, jikalau mereka membayar sekitar 250 juta rupiah, belum termasuk biaya. Dan penyebab lainnya adalah, lantaran profesor universitas dipromosikan hanya menurut senioritas, dengan sedikit atau tidak ada perhatian sama sekali terhadap penemuan dalam penelitian atau keunggulan dalam pengajaran.
Di atas kertas, Indonesia tentu semakin terdidik. Tapi sebelum mereka mulai menuntut lebih dari institusi pendidikan mereka, tampaknya mustahil mereka akan lebih terampil.
[Diterjemahkan oleh Tuty Yosenda, dari karya Elizabeth Pisani dengan judul "A nation of dunces?"]
Mari kita dukung Revolusi Mental, untuk perubahan yang lebih baik. Video ilustrasi berikut mungkin bisa mengajak kita untuk ikut berubah;
Serius? Apakah ia benar-benar tidak bisa menghitung jumlah sesederhana itu di kepalanya ?
Tanggal 3 Desember, hasil putaran terakhir tes matematika, sains dan keterampilan membaca dengan standar internasional diumumkan. Tes ini disebut PISA, Program for International Student, ditujukan untuk siswa berumur 15 tahun. Dari 65 negara yang berpartisipasi dalam tes PISA ini, Indonesia menduduki peringkat ke-60 dalam kemampuan membaca, dan ke-64 dalam matematika dan sains. Keterampilan siswa Indonesia yang begitu rendah itu amat mengejutkan. Sebanyak 42 persen dari belum dewasa berumur 15 tahun itu tidak mempunyai keterampilan dasar dalam matematika, dan tiga dari empat siswa -tepatnya 76 persen- hanya mencapai level satu atau kurang (dari total enam level). Bandingkan dengan Vietnam yang hanya mempunyai 14,2 persen anak yang berada di bawah level satu, sementara di Singapura 8,3 persen, dan di Shanghai 3,8 persen.
Tapi bukan perbandingan internasional itu yang benar-benar penting. Yang penting yakni : Bahwa tiga perempat dari belum dewasa Indonesia itu tidak mempunyai keterampilan matematika dasar yang mereka butuhkan untuk berfungsi dalam masyarakat. Sebanyak dua pertiga tidak mempunyai ilmu pengetahuan cukup untuk bersaing secara efektif di dunia modern, dan satu dari lima siswa tidak bisa membaca cukup baik untuk melaksanakan tugas-tugas fundamental di dunia kerja.
Padahal Indonesia menghabiskan dana untuk pendidikan relatif lebih banyak dibandingkan banyak negara lain. Secara konstitusional ada seperlima dari anggaran publik yang dikhususkan untuk pendidikan, baik pada tingkat nasional maupun lokal. Ukuran kelas di Indonesia juga merupakan salah satu yang terkecil dibandingkan sesama negara yang berpendapatan menengah. Di sekolah dasar ada seorang guru untuk setiap 16 siswa (lebih baik daripada Inggris), di sekolah menengah rasio guru dan murid yakni satu dibanding 12 (lebih baik daripada AS). Anehnya, mengapa belum dewasa Indonesia tidak berguru lebih baik ?
Aku menerima citra lebih terang ketika tinggal bersama keluarga Zunaidi, seorang nelayan di kepulauan Banggai, Sulawesi Tengah. Istri Pak Zunaidi yakni seorang guru sekolah dasar, salah satu dari sepuluh guru yang mengajar di sekolah dengan 120 anak-anak.PENGAMATAN DARI DEKAT
Sekitar jam 6.30 pagi, wanita itu masih memasak sarapan ketika putra bungsunya muncul dengan seragam sekolah. Dia menasihati anaknya untuk tidak terlambat. (Di seluruh Indonesia, sekolah dimulai jam 7 pagi). Lalu seorang tetangga tiba untuk mengeluh, bahwa tawaran mereka untuk pendanaan taman kanak-kanak belum diterima. Bu Zunaidi menaruh beberapa pisang ke dalam minyak panas, dan membuat secangkir kopi. Sekarang sudah jam 7.10, tapi ibu guru itu masih belum mandi dan bersiap mengajar.
Sekitar jam 7.15, saya bertanya jam berapa sekolah dimulai di sekitar sini. Dia tampak agak malu-malu, kemudian menunjuk ke arahku, ke tetangga, dan ke pisang goreng. "Tidak apa-apa. Semua orang tahu saya ada tamu."
Kalimat itu mengagetkanku : Makara kalau beliau tidak hadir, itu merupakan kesalahanku ?
Aku bertanya apakah saya bisa mengikutinya ke sekolah, barangkali saya bisa membantu dalam pelajaran bahasa Inggris. Dia tampak sangat lega, kemudian mandi dalam waktu singkat, dan jam 7.30 kami sudah berada di sekolah.
Sungguh sebuah kekacauan ! Seratus dua puluh anak berlarian, berteriak dalam pengabaian yang menggembirakan mereka ! Setengah jam sesudah kami memulai, tidak ada guru lain yang hadir. Aku mengajarkan bahasa Inggris di Kelas Empat dan Kelas Enam, dan Ibu Zunaidi mengajar di kelasnya sendiri, Kelas Satu. Murid-murid Kelas Dua, Tiga dan Lima diperintahkan untuk masuk ke kelas mereka sambil menekuni buku teks hingga guru datang.
"Jangan berisik !", bu Zunaidi memperingatkan.
Aku menghadapi sekitar 30 belum dewasa di bawah usia 12, berdesakan dalam setengah belahan dari ruangan. (Tidak ada cukup ruangan untuk enam kelas, sehingga mereka memakai kayu lapis sebagai penyekat).
"Good morning, everyone !", kataku menyapa.
"Good morning, miss !", sebuah respon yang sehat.
"My name is Eliz, what is your name ?", saya mengarahkan pertanyaanku kepada anak pria paling besar yang duduk akrab denganku. Dia telah berguru bahasa Inggris selama tiga tahun. Tapi beliau tertegun telah ditanyai sebagai individu, bukan sebagai belahan dari paduan bunyi yang telah diatur. Dia tak bisa berkata-kata. Anak-anak lain berusaha menarik perhatianku, dan saya bahagia ketika seorang gadis mengangkat tangannya.
"What is his name ?", tanyaku, sambil menunjuk anak pria yang termangu di barisan depan itu.
"My name is Fifi !", katanya dengan nada penuh kemenangan.
Tidak ada satupun guru lain yang muncul sepanjang hari itu.
TERLALU BANYAK GURU, TERLALU SEDIKIT PELAJARAN
Bank Dunia telah menuliskan beberapa laporan menarik ihwal sekolah di Indonesia. Kesimpulannya terang : Terlalu banyak guru di Indonesia, membuat negara ini kesulitan membayar honor mereka. Bank Dunia juga menyampaikan bahwa Indonesia perlu mendistribusikan ulang guru-gurunya. Tapi sayang, kesimpulan ini didasarkan pada jumlah guru pada tagihan gaji, bukan jumlah guru yang hadir di kelas. Keduanya sangat jauh berbeda.
Banyak pemerintah kawasan yang membayar insentif untuk membujuk guru semoga mau bekerja di daerah-daerah terpencil di Indonesia. Seringkali besarnya insentif itu dua kali lipat honor guru, tapi tampaknya itu tidak cukup. Bahkan dengan insentif, guru di kawasan terpencil itu cenderung membolos bekerja daripada guru di belahan lain. Dan kepala sekolah, orang yang bayarannya paling tinggi, yakni orang-orang paling sedikit terlihat di sekolahnya.
Pada suatu masa, mengajar yakni profesi terhormat di Indonesia. Lalu datanglah krisis ekonomi di simpulan 1950-an. Inflasi tinggi membuat orang-orang menginginkan pekerjaan sebagai pegawai pemerintah, apapun itu, lantaran ada jaminan tunjangan. Cara termudah untuk menjadi PNS yakni menjadi guru. Profesi itu kemudian diserbu, bahkan oleh orang-orang yang tidak tertarik dengan pendidikan. Soeharto dan Orde Barunya kemudian menempatkan guru, ke satu untuk dijadikan distributor negara, sementara kiprahnya sebagai pendidik yakni urusan nomor dua. Inilah ketika dimulainya pola pikir birokratis yang sangat mengakar di dunia pendidikan Indonesia.
Meskipun kini ada hukum dan standar gres ihwal pembinaan guru, pemerintah kawasan tetap saja menyewa guru honorer sebanyak apapun sesuka mereka. Orang-orang bergaji rendah itu, sebanyak satu juta di seluruh Indonesia (sepertiganya untuk tenaga kependidikan), dikecualikan dari standar-standar gres tersebut. Mereka mau mendapatkan pekerjaan itu, menunggu ketika promosi masal, hingga mendapatkan status PNS penuh.
Bagi bupati atau walikota, pos guru diciptakan sebagai cara berterima kasih kepada orang-orang yang telah membantu dalam pemilihan, atau kepada siapapun yang dianggap berjasa -dari jasa terkecil hingga sedang. Standar menjadi staf sekolah juga diatur semoga bisa mempekerjakan lebih banyak pegawai negeri. Karena semakin banyak pegawai negeri, pemerintah kawasan akan menarik semakin banyak uang dari pemerintah pusat.
Singkatnya, sekolah diisi dengan orang-orang yang tujuannya yakni menjadi birokrat, bukannya menjadi pendidik. Dan mereka berperilaku menyerupai birokrat lainnya di Indonesia : Meskipun mereka tahu bahwa mereka harusnya mengajar minimal 26 jam seminggu, mereka juga tahu bahwa semua aturan-aturan itu "bisa diatur". Seperti banyak birokrat lainnya, mereka melihat jam kerja itu sebagai pesta bergerak, dan mengambil waktu istirahat sesuka mereka. Dan menyerupai birokrat lainnya, mereka membenarkan semua sikap ini dengan menyalahkan honor mereka yang rendah : "Kami dibayar dengan honor kecil, sehingga kami terpaksa mencari pekerjaan sampingan. Apa lagi yang Anda harapkan ?"
Mereka yang tiba ke sekolah seringkali tidak punya motivasi. Aku pernah melihat seorang guru duduk merokok, mengobrol dan minum-minum di kantor kepala sekolah selama waktu pelajaran. Ketika saya bertanya ihwal komitmen mengajar mereka, mereka bilang telah memperlihatkan kiprah pada para murid. Di ruang kelas, belum dewasa berumur tujuh dan delapan tahun itu disuruh menyalin pertanyaan pilihan ganda dari buku-buku teks ke catatan mereka. Semuanya disalin, termasuk tanggapan yang salah.
Pemerintah mengatasi pengajaran berkualitas rendah ini dengan cara meminta semua birokrat di sekolah untuk mengikuti tes sertifikasi mengajar. Bagi sebagian besar peserta, itu lebih terlihat sebagai kursus singkat 90 jam ketimbang sebagai ujian. Siapapun yang menjalaninya, segera ia akan menerima honor dua kali lipat. Hasilnya : Lebih dari 90 persen guru diklasifikasikan sebagai 'sangat tidak kompeten' pada keterampilan mengajar. Lebih dari setengah guru sekolah dasar, dan sekitar sepertiga dari guru Sekolah Menengah Pertama … semua dinilai sangat tidak kompeten dalam materi pelajaran mereka. Tapi semua orang yang pernah mengikuti kursus dan telah 'lulus' ujian memperoleh kenaikan gaji, dan akan kembali menjadi guru yang mangkir empat dari lima hari kerja.
Sistem promosi di sekolah dan universitas negeri, sebagaimana yang ada di birokrasi, semua didasarkan pada masa kerja. Belum ada sistem yang menghargai orang-orang yang bekerja lebih keras, yang mengajar lebih baik, yang menginspirasi belum dewasa untuk berpikir, untuk mengeksplorasi, dan untuk mengembangkan potensi mereka.
Sebagaimana guru-guru mereka, siswa-siswa Indonesia tampaknya juga selalu lulus ujian, tidak peduli betapa rendahnya keterampilan mereka. Menurut kementerian pendidikan, lebih dari 99,5 persen siswa sekolah dasar lulus ujian nasional. Hanya dalam tes standar internasional yang diawasi dengan hati-hati menyerupai PISA, maka keterampilan mereka benar-benar diuji.TERLALU BESAR UNTUK GAGAL
Banyak surat kabar melaporkan bahwa ujian nasional itu dipenuhi oleh tipu daya. Setiap tahun, koran-koran itu mengisahkan ihwal bocornya soal-soal ujian, ihwal broker yang menjual tanggapan ujian, ihwal guru yang membagikan lembar ujian beserta jawabannya, atau bahkan menuliskan jawabannya di papan tulis. Google-lah 'Cara curang dalam ujian nasional' dalam bahasa Indonesia, maka engkau akan mendapatkan ratusan hits ihwal 'tips dan trik'. Itu sebabnya headline khas Indonesia dalam koran berbunyi menyerupai ini : "Ketika kecurangan kolektif menjadi tradisi dalam ujian nasional", atau "Kecurangan sebagai Budaya Akademik".
Tahun kemudian saya membaca sebuah artikel di koran ihwal sebuah inisiatif gres untuk menghentikan kecurangan di sekolah. Di bawah banner "Berani jujur, Hebat !", yang diterjemahkan secara bergairah sebagai "Dare to be honest, that's cool !", sekelompok organisasi berkeliling di sekolah-sekolah Indonesia, memperkenalkan gagasan bahwa kecurangan itu bukannya tak bisa dihindari. Penyelenggara kampanye, termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi, Indonesia Corruption Watch dan Transparency International, menyampaikan bahwa siswa yang tidak melaksanakan kecurangan itu semakin langka. Mereka mengakui bahwa sebagian besar siswa tidak akan bisa untuk berhenti melaksanakan curang begitu saja. Namun mereka tetap mendorong semoga siswa membuat rencana berjangka untuk menjauhkan diri dari ketidakjujuran.
Seorang kepala sekolah Sekolah Menengan Atas di dataran tinggi Sumatera Barat menyampaikan kepadaku, bahwa situasi kecurangan semakin memburuk semenjak desentralisasi. Kami duduk mengobrol di kantornya, di bawah potret seorang bupati dan wakilnya yang mengenakan seragam putih dan topi pelaut, dan membuat semua pejabat di Indonesia terlihat menyerupai pemimpin marching grup musik Sekolah Menengan Atas yang kedaluwarsa.
Aku bertanya apakah desentralisasi telah menghipnotis pekerjaannya ?
"Oooooooh yeeeeess !" Selalu ada plus dan minus dalam sesuatu menyerupai desentralisasi, katanya. Ada jeda panjang.
"Plusses dan minuses," beliau mengulang kata-katanya. Lalu jeda lagi.
"Sebenarnya, dari sudut pandang pendidikan anak-anak, tidak ada plus-nya," katanya, akhirnya. Dia kemudian duduk kembali, dan badannya mengerut.
Desentralisasi sangat menekankan pada "mengajar demi (lulus) ujian". Karena bupati ingin memenuhi janji-janji ihwal pendidikan di kabupaten mereka, dan lantaran kepala sekolah diangkat pribadi oleh bupati.
"Jadi kepala sekolah akan melaksanakan apapun yang diinginkan oleh bupati. Benar-benar apa pun !"
Dia kemudian bercerita ihwal kepala sekolah yang diberhentikan pada dekade sebelumnya, ketika inspektorat memergoki rekening sekolah yang bocor menyerupai saringan.
"Kemudian kami melaksanakan pemilu, dan beliau menjadi bintang dari Timses". Kepala sekolah menyebut akronim dari 'Tim Sukses' itu sambil membuat tanda kutip dengan jari-jarinya, dengan raut wajah yang setengah geli dan setengah jijik.
"Dan kini beliau menjadi kepala Sekolah Menengan Atas (X). Lalu ada lagi kepala sekolah di Sekolah Menengan Atas lain [Y]; beliau dipecat lantaran berjudi dengan memakai uang sekolah. Tetapi ia menjilat bupati, dan beliau kembali jadi kepala sekolah."
Dia kemudian menghela napas, dan menyandarkan badannya.
"Sungguh referensi yang elok buat anak-anak", keluhnya.
Jelas itu sebuah tantangan besar di negara yang besar dan bhineka menyerupai Indonesia, untuk membuat kurikulum tunggal dengan administrasi yang memenuhi kebutuhan semua orang. Menyadari hal ini, pemerintah baru-baru ini memperkenalkan sistem yang memperlihatkan kekuasaan yang masuk akal pada masing-masing sekolah (sembari mengkonsultasikannya dengan para orang tua) untuk mengendalikan dana mereka sendiri : Apakah untuk membangun laboratorium, atau untuk membeli komputer, atau untuk mengurus transportasi bagi belum dewasa yang membutuhkan, dan sebagainya.BERPIKIR KE DEPAN
Tapi soal kurikulum, fleksibilitasnya kurang. Otoritas pendidikan lokal diijinkan menentukan dua mata pelajaran sebagai komplemen dari kurikulum inti. Kadang-kadang mereka menentukan dengan bijaksana, kadang kala tidak. Aku menemukan kepala sekolah sebuah pesantren besar yang sedang putus asa, pesantren yang tidak jauh dari lokasi wisata yang sedang tumbuh di Senggigi, Lombok Barat. Departemen pendidikan lokal telah memerintahkan beliau untuk mengubah pilihannya, bahasa Inggris, menjadi bahasa lokal, Sasak.
"Bagi belum dewasa di sekitar sini, pekerjaan cita-cita yang memperlihatkan harapan terbaik yakni perhotelan. Tapi saya tidak diizinkan untuk mengajar mereka bahasa Inggris", katanya sedih.
Hasil tes PISA tahun ini bukanlah hal yang baru. Murid-murid Indonesia sudah usang berada di dasar tabel - khususnya untuk kemampuan matematika dan sains- semenjak negara itu mulai berpartisipasi dalam tes pada tahun 2003. Otoritas pendidikan di Jakarta menyampaikan bahwa semua ini lantaran siswa Indonesia menghadapi terlalu banyak mata pelajaran di sekolah, sehingga mereka tidak pernah berguru apa pun secara mendalam. Tapi respon mereka berikutnya sungguh mengakibatkan rasa ingin tau : Dalam kurikulum gres yang dimulai pada tahun 2013, mereka mengurangi jumlah mata pelajaran dengan menghilangkan sains dari kurikulum sekolah dasar. Geografi dan sejarah juga dihilangkan. Tambahan ekstra diberikan untuk pelajaran agama, kewarganegaraan dan matematika .Di tingkat nasional, pengembangan kurikulum tampaknya menyerupai irasional.
Orang-orang sinis mungkin berkata bahwa kepentingan pemerintah memang memelihara semoga orang-orang tetap bodoh, lantaran itu membuat mereka lebih praktis diatur. Hal itu tentu saja cocok untuk penjajah Belanda di masa lalu. Satu kurun penuh sesudah perusahaan perdagangan VOC diambil alih oleh pemerintah Belanda, hanya ada 25 'pribumi' di sekolah setingkat SMP. Namun pada simpulan tahun 1930-an, jumlahnya mencapai 6.500 orang. Banyak yang percaya bahwa kebijakan "memelihara" semoga orang tetap tak terdidik itu sengaja dibentuk di era Soeharto. Guru birokrat yang memaksa belum dewasa menelan mitos anti-komunis waktu itu tentunya juga akan dituduh sebagai orang yang menjauhkan siswa dari pemikiran kritis. Tapi saya tidak berpikir bahwa kebanyakan orang di pemerintahan kini mempunyai jadwal belakang layar untuk membiarkan rakyatnya tetap kolot .
Sebagai bangsa, Indonesia mempunyai kepentingan untuk memperoleh otak cerdas yang bekerja lebih baik, apalagi desentralisasi telah membuatkan pengambilan keputusan di banyak titik. Dalam sistem yang sangat terpusat, engkau cukup mempunyai sekelompok kecil orang-orang super-cerdas, sementara keputusan yang baik dari atas itu akan dilaksanakan di tingkat bawah. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi di tahun-tahun Suharto, misalnya, direkayasa oleh segelintir ekonom lulusan Amerika, dan dikenal sebagai Mafia Berkley. Tapi sekarang, lebih dari 500 pemerintah mini yang terpisah-pisah membuat keputusan besar ihwal pendidikan, kesehatan, investasi dan masih banyak lagi, terlepas dari siapa pun yang duduk di Jakarta. Indonesia membutuhkan ribuan orang dengan kemampuan memecahkan problem yang luar biasa, dan kebutuhan itu ada di setiap sudut di negeri ini.
Jelas mereka yang membuat keputusan kini ini merupakan produk dari sistem (pendidikan) yang begitu mendesak untuk diubah. Abad-abad yang dijalani dengan investasi yang begitu rendah di bidang pendidikan, dekade-dekade yang berlalu dengan menempatkan sekolah sebagai perpanjangan birokrasi, tahun-tahun hafalan yang mekanistik bagi setiap anak - pendek kata hampir semua orang Indonesia -termasuk dosen, guru, orang tua- merupakan produk dari sistem ini. Ini yakni sistem yang menghambat rasa ingin tahu, merusak pemikiran kritis, dan membangun harapan yang rendah.
KEBAIKAN DI ATAS KERTAS
Seperti yang kusebutkan, salah satu pendekatan pemerintah untuk meningkatkan keterampilan guru (juga pegawai negeri sipil, polisi, dan militer) yakni dengan meminta mereka untuk meningkatkan 'kualifikasi' diri. Selain 90 jam pelatihan, mulai tahun 2015, semua guru diharuskan menjalani pendidikan tinggi empat tahun. Adanya Universitas Terbuka Indonesia yakni hal baik. Namun dari setengah juta mahasiswa yang sedang menjalani pendidikan on-line tersebut, lebih dari tiga perempatnya yakni guru. Sayangnya, banyak di antara mereka tinggal di tempat-tempat yang tidak mempunyai kanal internet.
Seharusnya itu mengkhawatirkan. Tetapi memang tidak ada lagi keyakinan bahwa 'kualifikasi' yang dibuktikan melalui selembar ijazah itu sungguh-sungguh mencerminkan kapasitas seseorang. Seorang insinyur dari Jawa dengan gelar PhD berkata kepadaku : "Bagi kebanyakan orang Indonesia, pendidikan yakni ihwal mendapatkan ijazah, bukan ihwal berguru sesuatu. Makara sungguh, mengapa kita harus memikirkan kualitas ?"
Banyak orang melangkah lebih jauh : Mereka tidak memikirkan pendidikan sama sekali. Mereka hanya mencari sebuah kafe internet, dan memesan ijazah mereka. Sebuah perusahaan yang menarik biaya empat juta rupiah untuk ijazah SMA, dan dua kali lipat untuk gelar sarjana menyatakan bahwa jasanya : AMAN , LEGAL , TERDAFTAR DI UNIVERSITAS / SEKOLAH , DAPAT DIGUNAKAN UNTUK MELAMAR PEKERJAAN (LAYANAN MASYARAKAT, TNI, KEPOLISIAN, PERUSAHAAN NEGARA , PERUSAHAAN SWASTA). Pada website mereka, pemasok ijazah instan ini mengingatkan pelanggan bahwa: "Semua orang mempunyai hak untuk bekerja dan mendapatkan pendidikan yang layak. Karena itulah kami ada di sini, bagi Anda yang membutuhkan sertifikat."
Komisi Pemilihan Umum Nasional melaporkan bahwa keluhan yang paling umum yang mereka terima ihwal calon bupati dan walikota yakni bahwa mereka tidak memenuhi persyaratan pendidikan minimal. Ijazah mereka palsu.
Orang-orang yang membeli ijazah setidaknya mendapatkan apa yang mereka bayar. Tetapi banyak keluarga Indonesia yang melaksanakan pengorbanan besar semoga belum dewasa mereka lulus, dan mereka mendapatkan jauh lebih sedikit daripada seharusnya. Banyak yang membawa anak mereka pada les privat, seringkali dengan guru yang sama di sekolah. Orang renta tampaknya berpikir bahwa belum dewasa mereka akan mendapatkan kualitas yang lebih baik di sekolah jikalau mereka membayar ekstra untuk itu, tapi tidak ada bukti yang mendukung dugaan itu. Sebuah perbandingan internasional menemukan bahwa belajar khusus memang meningkatkan performa belum dewasa di setiap negara yang diteliti, kecuali Indonesia, yang memperlihatkan tidak ada bedanya. Ada sirkulasi di sini : Bahwa produk dari sistem yang jelek (maksudnya orangtua dan guru) tidak selalu mempunyai kapasitas untuk merumuskan taktik yang lebih baik untuk meningkatkan kualitas generasi berikutnya !
Tapi bagaimana dengan orang renta kelas menengah, orang-orang yang pergi ke sekolah-sekolah swasta mahal yang dikelola oleh pendidik -bukannya birokrat, orang-orang yang pergi ke universitas negeri yang lebih baik, bahkan orang-orang yang berguru di luar negeri ? Mengapa mereka tidak mencerca pendidikan Indonesia yang begitu mengerikan, mengapa mereka tidak mengangkat senjata demi mengembalikan pelajaran sains ke sekolah ?
Agar adil, bahu-membahu ada cukup protes pada tahun 2012, membuat kementerian pendidikan tidak jadi memberlakukan kurikulum tanpa sains pada lebih dari 100.000 sekolah sekaligus, melainkan meluncurkannya secara bertahap, dimulai dengan sekitar 6000 sekolah. Setelah kompromi kecil itu, protes pun berhenti dengan tenang.
Kebanyakan orang Indonesia yang menyadari betapa buruknya sistem sekolah nasional itu hanya tetapkan untuk tidak melibatkan diri dengan sistem yang payah tersebut. Sebagaimana orang makmur dan terdidik di seluruh dunia, mereka menyekolahkan anak mereka ke sekolah swasta, meski pilihan tersebut tidak menjamin pendidikan yang lebih baik. Memang hasil PISA yang gres dirilis itu memperlihatkan bahwa siswa di sekolah-sekolah negeri di Indonesia mencetak angka yang lebih baik dibandingkan dengan sekolah swasta. (Penelitian yang lebih rinci memperlihatkan bahwa sekolah swasta Nasrani merupakan pengecualian, lantaran secara konsisten mencapai hasil yang terbaik).
Dinding rumah orang-orang Indonesia rata-rata dihiasi foto-foto anak muda dengan topi dan toga. Bahkan Taman Kanak-kanak pun melaksanakan upacara wisuda, tapi foto yang paling dibanggakan yakni foto belum dewasa memegang ijazah SMA, atau sarjana. Aku tidak berbicara ihwal rumah kelas menengah. Aku gres saja tinggal di rumah tiga atau empat pasangan Indonesia yang buta huruf, dan semuanya mempunyai foto belum dewasa yang diwisuda di dinding rumah mereka.PENDIDIKAN TINGGI
Orang renta miskin sering bekerja sangat keras semoga belum dewasa mereka menuntaskan sekolah. Tapi ke mana perginya semua investasi mereka ? Enam juta warga Indonesia yang telah lulus dari Sekolah Menengan Atas ketika ini tidak mempunyai pekerjaan. Pemerintah menganggap lulusan Sekolah Menengan Atas dan sekolah kejuruan itu 'terampil' , tapi para pemberi kerja menganggapnya lain. Delapan dari sepuluh pengusaha menyampaikan bahwa mereka masih kesulitan mengisi posisi manajerial. Hampir setengah dari pekerja 'terampil' yang ditempatkan -bahkan pada posisi yang kurang menuntut- dianggap tidak mempunyai pemikiran kritis, kemampuan komputasi atau bahasa Inggris yang mereka butuhkan untuk melaksanakan pekerjaan mereka dengan baik. Kebanyakan perusahaan besar terpaksa melatih ulang hampir semua orang yang memasuki pintu mereka.
Beberapa tahun yang lalu, ketika insinyur lulusan Jerman dan eks presiden interim BJ Habibie masih besar lengan berkuasa dalam pemerintahan, terjadi perdebatan nasional ihwal perlunya peningkatan pembinaan teknis dan kejuruan di Indonesia. Habibie cenderung memfokuskan kembali sistem pendidikan, tapi ia diteriaki oleh akademisi renta yang keberatan, dan menuduh bahwa gagasannya akan mengubah bangsa Indonesia menjadi bangsa buruh. Akibatnya, terjadi perluasan besar dalam jadwal pendidikan, membuat lebih banyak lulusan bertopi dan bertoga tradisional, sementara para pemberi kerja dibiarkan tanpa tukang las atau pekerja terampil lainnya.
Akses ke pendidikan tinggi telah berkembang secara besar-besaran di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, jumlah orang-orang muda yang mengikuti pendidikan tinggi tumbuh sebesar 60 persen di antara tahun 1999 dan 2010, lebih dari 4,3 juta. Tapi sekali lagi, kualitas yakni sesuatu yang mengkhawatirkan. Dari sekitar 3500 universitas dan perguruan tinggi yang terdaftar di Departemen Pendidikan, (ini tidak termasuk sekolah-sekolah Islam yang dikelola oleh Departemen Agama), kurang dari 100 dikelola oleh negara, sementara pengawasan terhadap institusi swasta tidak ada. Tak satu pun dari lima universitas terbaik negeri ini masuk peringkat 400 universitas top dunia pada tahun 2012 versi Times Higher Education Supplement, dan tidak satupun yang berhasil mencapai 100 universitas terbaik di Asia.
Hal ini -salah satunya- lantaran privatisasi parsial perguruan tinggi negeri yang telah mengakibatkan mereka melelang tempat mereka kepada penawar tertinggi. Siswa-siswa dengan nilai sekedarnya bisa mendapatkan tempat untuk berguru kedokteran di sebuah universitas top, jikalau mereka membayar sekitar 250 juta rupiah, belum termasuk biaya. Dan penyebab lainnya adalah, lantaran profesor universitas dipromosikan hanya menurut senioritas, dengan sedikit atau tidak ada perhatian sama sekali terhadap penemuan dalam penelitian atau keunggulan dalam pengajaran.
Di atas kertas, Indonesia tentu semakin terdidik. Tapi sebelum mereka mulai menuntut lebih dari institusi pendidikan mereka, tampaknya mustahil mereka akan lebih terampil.
[Diterjemahkan oleh Tuty Yosenda, dari karya Elizabeth Pisani dengan judul "A nation of dunces?"]
Mari kita dukung Revolusi Mental, untuk perubahan yang lebih baik. Video ilustrasi berikut mungkin bisa mengajak kita untuk ikut berubah;
Belum ada Komentar untuk "✔ Apakah Indonesia Sebuah Bangsa Yang Bodoh?"
Posting Komentar